Sabtu, 16 April 2016

wake up..!!

Wake up..!!

Seperti halnya sakit, bila salah penanganan maka akan lebih parah sakitnya, semoga selama ini pengobatanya sudah benar,haha…

Ada kalanya terfikir, suatu hubungan bukan hanya dilihat dari lama tidaknya hubungan itu sendiri atau banyak sedikitnya pengorbanan, namun yang terpenting adalah pertanggung jawaban atas komitmen yang sudah disepakati bersama,saling mempertahankan dan memperjuangkan hubungan itu sendiri.

Ada sebagian orang yang pernah bilang “ buat apa dipertahankan kalo ga nyaman “
Nahh, kalau kata itu di posisikan yang sudah nikah bagaimana?
Nikah, cerai,nikah,cerai ..hahahaa

Emang ga bisa dipungkiri rasa bosan selalu ada bila jalin hubungan yg usianya lumayan lama, tapi kembali lagi ke pertanggung jawaban atas komitmen tadi,  dari hal ini setidaknya kita belajar untuk ga nikah, cerai..

Yahh..walaupun akhirnya kita ga bisa bersama, namun aku yakin semua yang uda dilalui ga akan sia sia, hal ini semoga menjadi hal yang berarti kedepanya.
dan sekarang saat nya dobrak batasan diri, bangun semangat, sudah cukup bercandanya, tatap masa depan..

buat kamu yang sedang bahagia,
semoga pria baru mu bisa bener bener terima kamu apa adanya, tanpa tuntutan di akhirnya..

selamat,



Rabu, 03 Februari 2016

“Menata Hati”

“Menata Hati”

Sebulan sudah membiasakan apa yang tidak biasa, dan mencoba menerima keadaan yang terjadi, hari ini dan selanjutnya akan terus berusaha menata hati ini, hati yang dimana telah menjadi puing, yang harus di kumpulkan dan disatukan kembali agar utuh seperti semula.

Mencoba menerima akan keputusanya, meng ikhlaskan apa yang telah terjadi, hanya kepada ALLAH SWT aku serahkan semua, hanya ia yang maha berkehendak, dan maha membolak balik kan hati, berjalan mengikuti waktu yang ada, memberikan yang terbaik setiap hari yang dilakoni, berharap yang terbaik akan terjadi.

Untuk ia yang pernah mengisi hati ini, terima kasih telah memberi hal yang tak pernah aku rasakan sebelumnya, berjalanlah ke depan, ikuti kata hati mu, semoga ada kebahagiaan di depan yang akan menanti, aku hargai apa yang sudah menjadi keputusanya, semoga ini memang keputusan yang tepat.
Sekali lagi, terima kasih..maaf bila selama ini ada ke khilafan yg terjadi di antara kita, semua kenangan yang pernah ada akan tersimpan rapi dan gak akan pernah hilang ataupun terlupakan di kalbu ini.


Minggu, 31 Januari 2016

“Bersahabat dengan Rindu dan Kenangan”

“Bersahabat dengan Rindu dan Kenangan”


Waktu semakin terus berjalan, begitu pula dengan kehidupan yang aku jalani, hari-hari melakukan rutinitas seperti biasa, namun yang akan di bahas di sini bukanlah rutinitas seperti bekerja atau yg lainya, melainkan mencoba bersahabat dengan rindu dan kenangan yang pernah ada.

Hari demi hari ku coba untuk mengakrabkan dengan rasa itu, rasa yang tak pernah bisa hilang ataupun terlupakan dari kehidupanku, sempat aku merasa tersiksa dengan rasa itu, rasa yg setiap saat datang menghampiri kehidupanku, namun..aku mencoba menjadi sahabat yang baik dari rasa itu, menjadi teman dalam kehidupanku,  ia adalah partner, patner yang menuntunku untuk menjadi yang lebih baik, aku bersyukur bisa memiliki rasa itu, dan aku sadari, teman sejatiku adalah rindu dan kenangan ini.

Terima kasih telah memberiku kenangan yang begitu luar biasa indah, rindu yang sangat amat mendalam, kini mungkin ia tidak bisa lagi menyiksaku, rasa itu telah berubah menjadi sahabatku, sahabat yang selalu setia menemani hari – hari ku, tak ada yang berubah..semua apa yang sudah kau beri masih tersimpan rapi di kalbuku.

Meski raga mu tak lagi bersamaku, namun rindu dan kenangan yang sudah kau beri, akan selalu menjadi sahabat, teman, atau partner terbaik yang selalu setia menemani kehidupanku.





“Layang Kangen”

“layang kangen”

Semakin aku tekan ke dalam semakin muncul ia datang menyapa,  walau hanya guratan senyum yang datang menyapa , seakan menanyakan , apa kabar?

Mungkin ini seperti mimpi, sesuatu hal yang jauh dari dugaanku, seketika hilang dari peredaran, intensitas komunikasi seketika lenyap, hal yang tak pernah kita lakukan sebelumnya, memang ga gampang ngejalaninya, dan aku yakin ia pun merasakan hal yang sama,  namun aku percaya ia adalah wanita dewasa dan juga cerdas, ia tahu mana yang terbaik untuk kita berdua..

Keputusanya pun aku rasa sudah menjadi hal yang terbaik untuk dia dan aku, ikhlas.. kata yang mudah diucapkan, namun ucapan tak semudah untuk melakukanya, entah sampai kapan hati ini bisa benar-benar ikhlas akan hal ini, hanya waktu yang bisa menjawab semua.

Terkadang ada rasa egois timbul di benak, kenapa sampai seperti ini? Apa separah itu kesalahan yang sudah aku lakukan, apa setimpal dengan semua yang sudah kita lakukan bersama, apa harus kesalahan di akumulasikan? Manusia bisa berubah, namun aku percaya perubahan itu sendiri butuh proses,seperti hal nya metamorfosis pada kupu-upu yang indah, berawal dari telur,ulat (larva), kepompong, dan menjadilah makhluk yang indah.

 tingkat usia terkadang bisa mempengaruhi perilaku, dari usia remaja dan dewasa itu sendiri bebeda, semakin bertambahnya usia serta pengalamn hidup yang sudah dilaluinya juga menjadi pembelajaran dalam membentuk kedewasaan.

apa dosa jika aku merindukan nya? Apa haram? Entah sampai kapan rasa ini tertahan di dalam hati, namun.. aku akan tetap menunggu semampuku. Dulu ia sebut aku rumah yang membuat nya selalu ingin pulang, sedangkan dia adalah harapan yang menguatkanku untuk tetap bertahan.
Dari hal ini banyak pelajaran yang bisa di dapat, termasuk belajar ngetik / menulis, walau masih amatir..haha


Sabtu, 30 Januari 2016

" Musuh ku "

“Musuh ku”

Adzan maghrib telah berkumandang, dan aku masi bergelut dengan musuhku, sesegera aku berjalan menuju pusat lantunan suara adzan tersebut, kubasuh wajah ini dengan air dan kulupakan semua urusan dunia untuk beberapa saat. Alhamdulillah…

Kembali ke kehidupan nyata, dan secepat itu pula kembali bayangan itu selalu menghampiri, semakin ku paksa untuk mencoba melupakan, ia akan semakin kuat dalam bayangan, dan ku coba menghilangkan rasa untuk melupakan, ku jalani kehidupan ini dengan apa adanya,, Mm..seperti jailangkung haha..” datang tak diundang pulang tak diantar” begitulah bayangan yang selalu setia menghampiriku setiap hari,  setiap ia datang menghampiriku, aku berusaha tersenyum, dalam benak berharap yang terbaik untuk dia.

Masa indah, mungkin dari sebagian orang masa indah masa dimana duduk di bangku SMA, Tidak..tidak buat aku, masa indah buat aku adalah masa dimana aku bisa selalu bersamanya, masa dimana kita bisa senyum, tertawa, susah , senang bersama, masa SMA masa yang tak pernah aku rasakan, namun semuanya tak lagi sama, semua terasa beda untuk sekarang, berjalan masing – masing itulah kita sekarang,

Dan ga semerta merta aku menelan mentah – mentah permasalahan ini, Ada banyak pelajaran yang aku dapat dari hal ini, dari evaluasi diri, menjadi pribadi yang lebih baik lagi dari yang dulu, dan lebih memaknai arti hidup, memang ga mudah untuk menjalaninya, namun,, ini memang musti dijalanin. Saat proses ini ada berbagai hal yang harus aku lewati, dan hal yang terberat adalah waktu, waktu luang / waktu longgar adalah musuh terbesarku, waktu dimana bisa memunculkan lagi bayanganya, wajah, dan senyum manjanya, tak bisa dipungkiri, semakin kujalani hari tanpa aktivitas semakin sering ia menyapaku.




Kamis, 28 Januari 2016

“Kuukir Komitmen untuk Selalu Mencintaimu”

“Kuukir Komitmen untuk Selalu Mencintaimu”
Waktu memang tidak selalu mudah kugenggam. Bahkan, hingga saat ini diriku masih menunggu waktu memberikan jawaban yang pasti. Dia, seseorang yang telah membuat pandanganku berubah. Dia, seorang yang sudah membuat hatiku tertunduk padanya. Jawaban darinya lah yang selalu kutunggu hingga saat ini.
Kutatap beberapa waktu ke belakang, saat diriku berpartisipasi dalam moment TC di lapangan tenis Banua Patra Balikpapan. Saat itulah seseorang mengetuk dan membuka pintu hatiku, dan kali pertama kami bertatap muka. Kupikir kami adalah pasangan yang pas dan cocok karena kami saling mendalami ilmu bela diri silat. Sebagai atlet silat, dirinya nampak berbeda di mataku, berbeda dengan semua wanita yang pernah kukenal. Itulah yang membuat diriku tertarik padanya. Hingga akhirnya, kami berada dalam satu mess dalam ajang Walikota Cup. Aku baru bisa menatapnya dari kejauhan. Yuni, begitulah teman-teman memanggilnya. Tanpa kutanya, aku telah mengetahui namanya lebih dulu. Dia memang pemalu dan tidak banyak omong, apalagi omong kosong. Sebagai atlet wanita, ia pantas memiliki karakter itu. kutahu satu hal, bahwa dirinya tidak banyak bicara apalagi pada seorang yang belum dikenalnya, jadi kupikir akan sulit mendekatinya.
Tapi akhirnya, kuberanikan diri untuk mendekati hatinya. Langkah pertama, kupinta nomor HP-nya pada temanku, dan alhasil aku bisa mendapatkannya. Akhirnya kuluncurkan serangan selanjutnya. Aku mulai memberinya pesan, hanya sekadar berkenalan dan berbasa-basi. Ya, kutahu bahwa jawabannya hanya sekadarnya saja dan bahkan, ia tidak terlalu peduli dengan sms-ku. Aku tak pantang menyerah. Semenjak turnament itu, aku masih menghubunginya dan bahkan meneleponnya. Ia memang menjawab teleponku, dan kutahu bahwa dirinya hanya sekadar menghormati si penelepon, dan kuanggap ia belum tertarik padaku.
Perjuanganku masih panjang dan belum berakhir, aku terus mendekatinya. Tentu aku sabar menanti dirinya, bahkan hingga saat ini, menjelang akhir tahun 2008. Sudah hampir setahun aku menunggu kepastian darinya, menunggu jawaban yang sangat kubutuhkan. Kusadari bahwa dirinya yang telah berpisah dengan mantannya, membuat kemungkinan kecil bahwa ia butuh waktu panjang untuk memantapkan hatinya kembali, mencoba membenahi hatinya untuk bisa menerima hati yang baru, seperti hatiku ini.
Masa itu dimana dia masih berstatus siswa SMA kelas 2, dan sedangkan aku sudah bekerja.Hari pun berlalu, dan ternyata, waktu pun bisa kuraih dengan genggaman yang begitu erat. Inilah waktu yang telah kutunggu selama ini. Setelah hampir setahun, usahaku nyatanya tidak sia-sia. Setelah berbagai cara kucoba, hasilnya pun bisa kuraih.dan atas berkat bantuan sahabat akhirnya pada tanggal 26 desember 2008 malam kita bertemu, selepas maghrib aku berinisiatif untuk meminjam motor saudaraku untuk menjemput si do’I di rumahnya, sesampainya di rumah nya aku beranikan diri untuk meminta izin kepada kedua orangtua nya untuk mengajagk nya jalan keluar,dan izin dari orangtua sudah aku kantongi selanjutnya kupacu motor butut milik saudaraku, “maklum pada waktu itu belum sanggup nyicil motor” dan roda motor pun berhenti di sebuah taman, yg biasa disebut anak balikpapan sebagai taman melawai II, dan mulai dari perbincangan kecil aku mencoba untuk menatap wajahnya, namun apa daya dia selalu menundukan wajahnya, seakan takut atau malu kepadaku,” maklum wajahku sedikit garang” perbincangan dengan ditemani segelas juice alpukat dan sekotak martabak begitu nikmat, dikarenakan bisa bertatap muka langsung dengan wanita yang aku damba dan tunggu selama ini.
Sekian lama aku selalu memberikan perhatian padanya walau terkadang membuatnya bosan, memberikan banyak hal yang disukainya walau terkadang ia menolaknya dan bahkan aku berusaha menjadi sahabat terbaiknya walau terkadang diriku sakit mendengar kisah mantannya, tapi aku bersabar hingga aku bisa mendapatkan hatinya.
Segera kucatat dalam memoriku, tanggal 26 Desember 2008 kami resmi menjadi sepasang kekasih, alias pacaran. Bayanganku selama ini akhirnya pecah dan menjelma menjadi kebahagiaan yang takkan dapat kuhitung banyaknya. Entah apa yang telah membuat hatinya terbuka untukku, entah apa yang telah merasukinya untuk memberikan cintanya padaku, tak kutanyakan hal itu padanya, yang jelas, sejak detik itu hatiku merasa luas menyimpan kebahagiaan yang menggunung. Aku bahagia, hingga membuat dadaku sesak dan jantungku terus berdetak kencang dan bahkan darahku mengalir dengan derasnya.
Dengan menyandang status pacaran, kami mulai berkomitmen, saling mencintai dan menerima satu sama lain hingga titik darah penghabisan hidup kami, alias sampai jadi nenek kakek. Pastinya karakter kami berbeda, dan karenanyalah dibutuhkan sebuah cinta sebagai penengah dari perbedaan itu.
Kian hari hubungan kami semakin erat dan bahkan direstui oleh keluarga kami. Diriku semakin merasa nyaman selalu bersamanya, begitupun Dia yang seolah-olah terus menempel padaku, bahkan bisa dibilang kalau kami jarang bertengkar. Memang tak pernah kubayangkan untuk mengenalkan Dia pada orang tuaku, tapi di suatu hari, waktu lah yang telah mengenalkannya pada ibuku. Nyatanya, ibuku menyukainya karena sikapnya yang pemalu dan santun. Begitupun, ayah merestui hubungan kami, serta orang tua darinya. Kupikir, hubungan di usia dini akan dilarang secara keras, tapi tak kusangka hubungan kami berjalan lancar bahkan hingga ia lulus SMA.
Setiap orang tentu memiliki impian berbeda, dan kutahu bahwa ia memiliki impian berbeda denganku. Kuhargai dirinya yang ingin berkuliah di universitas negeri , melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Tentunya aku bangga jika ia berkeinginan melanjutkan pendidikannya, tapi bukan itu yang kupermasalahkan. Bahwa ia ingin berkuliah di kota tepian, Hidupnya tentu belum berada diatas keputusanku, karena status kami hanyalah pacaran. Tentunya ia masih menjadi tanggung jawab orang tuanya,bahwa orang tua nya mengizinkannya berkuliah di kota tepian. Pendidikan masih menjadi haknya dan ia adalah tanggung jawab orang tuanya. Sementara diriku, harus mendukungnya dan tetap menjaga komitmen yang telah kami bangun selama ini.
Akhirnya kuputuskan untuk mendukungnya. Kutahu bahwa hubungan kami akan menjadi LDR alias Long Distance Relationship. Hubungan jarak jauh memang gampang-gampang susah, dan inilah yang akan menjadi tantangan kami selanjutnya. Dengan dewasa, Dia mencoba mengukuhkan komitmen kami dan membuatku semakin tenang.
Aku pun membantu nya mulai dari pendaftaran kuliah hingga mencari tempat tinggalnya di kota tepian. Kami berangkat dari kota Minyak Balikpapan menuju kota tepian. Mulanya, ia tidak ingin melibatkanku untuk urusan perkuliahan, namun segera kuambil alih tugas ayahnya untuk mengurus perkuliahannya. Alhasil akulah yang turun tangan mulai dari awal. Kami segera menyusuri kota tepian, mencari tempat kost yang layak untuk ditempati. Ini memang kali pertama aku dan dia mengunjungi kota asing ini. Jadi, tidak heran jika kami tersesat dan bahkan tak tahu arah. Tanpa peta yang bisa dipegang, kami mencari universitas yang dituju dengan bermodalkan numpang tanya. Alhasil, numpang tanya kesana kemari selama dua hari telah membawa kami ke tempat yang dituju. Tidak hanya menemukan tempat perkuliahan, tapi juga langsung mendapatkan tempat kost yang terbaik. Tempat kost dengan harga terjangkau dan jaraknya sangat dekat dengan kampus, dan inilah yang akan membuatku lega dan tenang untuk meninggalkannya hidup sendiri di kota asing ini. Dia akan tinggal di rumah kost putri bertingkat, dan ia tinggal di lantai dua. Ruangannya memang tidak besar, tapi sangat cukup menjadi hunian sendiri. Pastinya dia akan nyaman tinggal di kost ini sampai tiba kelulusannya nanti.
Dengan tenang akupun bisa meninggalkannya pergi. Aku hanya bisa berpesan agar ia tetap menjaga komitmennya. karena mulai saat ini aku tidak bisa berada di sisinya setiap hari. Ya, kupikir hubungan kami sudah sangat dekat. Kutahu, bahwa pancaran matanya memberikan makna kesetiaan.
Memang tidak setiap saat aku mengunjunginya, karena akupun tidak memiliki kesempatan sebanyak itu. Kini, aku bekerja sebagai karyawan swasta di suatu Bank di Balikpapan. Bekerja maupun kuliah bukanlah hal yang mudah. Begitu dapat kurasakan naik turunnya semangat diri, terutama saat aku merindukannya. Kupikir, cintaku saat ini bukanlah cinta anak ABG, karena aku selalu peduli padanya. Setiap keluh kesahnya selalu diceritakannya padaku, dan aku berusaha menjadi pendengar dan pencari solusi yang baik. Aku bersyukur, karena hubungan kami tidak berjalan serumit hubungan pasangan lainnya. Mungkin, komitmen yang telah kami bangun telah menjadi sebuah kesetiaan bagi kami berdua.
Dia hanya bisa pulang ke Balikpapan saat libur kuliah, dan aku pun hanya bisa mengunjunginya di sela-sela waktu luangku. Perasaan bahagia saat bertemu denganya , karena rasa rindu yang mendalam. Kucoba menerima keadaannya. Aku pun sadar bahwa selama ini ia tidak terlalu banyak berkomentar mengenai diriku, pekerjaanku atau bahkan karakterku.
Setahun kemudian, tibalah hari penting bagi Dia. Hari yang paling dinantikan oleh seluruh mahasiswa. Hari yang sangat membanggakan ini membuatku ingin mengajak seluruh keluarga menemuinya. Di hari wisudanya, aku berangkat ke kota tepian bersama keluarga nya, bersama orang tua, dan adik laki-laki nya. Namun, orang tuaku tak dapat hadir karena harus mempersiapkan banyak hal.
Kuucapkan selamat padanya, selamat telah berhasil menyelesaikan kuliahnya, selamat telah menggapai impiannya dan juga selamat telah memberikan kesempatan bagiku dan orang tuanya untuk merasa bangga dan bahagia padanya. Aku senang melihat kelulusannya. Ikatanku bersamanya semakin erat, begitupun tali keluarga kami. Setelah hari kelulusannya tersebut, Hari berikutnya, aku mendampinginya untuk mencari pekerjaan. Aku mendukung semua keinginannya. Ia memang melamar kerja di Balikpapan dan juga di kota tepian. Aku terus mendukungnya dan berharap agar ia diterima bekerja di Balikpapan, sehingga kami tak terpisah. Namun, siapa yang tahu takdir? Takdir bukanlah kita yang menentukan, bukan kita yang merencanakan dan bukan kita yang meminta, melainkan takdir datang dengan sendirinya, tanpa kita ketahui dan bahkan tanpa pernah kita menerka.
Akhirnya ia diterima bekerja di sebuah instansi Pemerintah di kota tepian. Kususun dan kubenahi kembali hatiku, mencoba menerima takdir yang telah dicatatkan Allah pada setiap hamba-Nya. Hubungan kami kembali menjadi LDR, dan kucoba berpikir bahwa ini adalah hal biasa, karena kami telah menjalani hubungan demikian selama empat tahun. Yang terpenting saat ini adalah menjaga komitmen agar hubungan kami tetap utuh hingga waktu pernikahan kami tiba.
Hingga akhirnya, beberapa hari kemudian, komitmen kami mulai goyah. Komitmen yang telah kami bangun dengan pondasi yang begitu kuat, kini mulai retak. Entah bermula dari mana, entah dimulai sejak kapan, entah berasal dari sebab apa, tak kusadari bahwa hubungan kami mulai renggang. Kian hari muncul banyak pertengkaran diantara kami.
Sejujurnya, Dia bukanlah penyebab utama retaknya hubungan kami. Kusadari, bahwa diriku memang egois, kusadari bahwa aku terlalu cemas dan khawatir, dan bahkan terlalu cinta pada dirinya hingga membuat keegoisanku menggoyahkan hubungan kami. Kutahu bahwa diriku egois, tapi tak dapat kupungkiri bahwa keegoisanku ini memiliki alasan. Tentu aku sepakat akan pekerjaan yang sedang dijalaninya saat ini, tapi satu hal yang selalu mengusik hatiku. Jarak tempuh dia dari tempat kontrakannya menuju kantornya terlalu jauh, bahkan sangat jauh. Orang tua nya memang tidak terlalu mempedulikan hal itu, karena anaknya yang membuat keputusan tersebut dengan resiko yang berani ia tanggung.
Aku tahu bahwa tempat itu memang diusulkan temannya, aku pun tahu bahwa ia satu kontrakan dengan temannya dan aku pun tahu bahwa dia berangkat ke kantor bersama temannya. Namun, tetap saja kecemasanku selalu menang. Kecemasanku mengalahkan hati nuraniku untuk memikirkan perasaan dan kenyamanan nya. Secara tak sadar, aku sering berkata dengan nada tinggi di telepon, dan bahkan saat bertemu dengannya.
Seperti biasa, aku menganggap dia akan selalu tunduk padaku, dalam artian selalu mendengarkan nasihatku, mendengarkan setiap kata-kataku. Namun, kali ini dia berbeda. Seolah ia membangkang atas semua perkataanku. Ku sadari bahwa diriku bukanlah orang tuanya yang berhak memarahinya saat aku merasa adanyakesalahan dalam dirinya, kusadari pula bahwa diriku bukanlah suaminya yang berhak mengaturnya dalam segala hal. Namun, aku merasa bahwa diriku sangat penting baginya, hingga aku berusaha memberikan yang terbaik untuknya.
Orang tua nya memang telah menitipkan nyapadaku. Mereka percaya padaku, mereka yakin dan hampir seutuhnya memberi kepercayaan padaku untuk menjaga nya, mendampingnya dan bahkan mengurus segalanya. Mungkin, kepercayaan itulah yang telah membuatku kelewat batas, hingga aku tak enggan mengeluarkan amarahku di depannya, hingga aku tak perlu berpikir berkali-kali untuk berkata kasar padanya, dan bahkan aku tak segan membentaknya.
Kucoba membicarakan hal ini pada orang tua nya. Aku pun mengunjungi mereka ke rumahnya, bermaksud memberikan yang terbaik untuk dia. Namun, walau aku dipercaya untuk menjaga dan mengurus anaknya, tetap keputusan pekerjaan ada di tangan anaknya. Bahkan, secara tak langsung orang tua nya sangat setuju dengan pekerjaannya, walau jarak tempuh kantor dan kontrakan memang jauh, Dan setelah orangtuanya mendengar pertengkaran di antara kita, mereka sangat menyayangkan ini terjadi, dengan permasalahan ini kenapa sampai seperti ini? “tanya sang ibu nya kepadaku”
Aku pun tak bisa banyak bicara, karena sudah terlalu penuh apa yang ada dalam otak ku waktu itu.
Aku terpaksa mengalah. Hal ini lebih baik dibandingkan mendengar permintaan berpisah dari mulut kedua orang tuanya. Diriku akan nampak sangat jelek di mata kedua orang tuanya, jika aku terlalu mengekang nya ataupun memaksakan kehendakku pada nya. Aku mencoba menerima keadaan nya.
Setelah berusaha, nyatanya usahaku tak berhasil. Aku pun mengunjungi dia ke kota tepian. Kutatap mata binar nya yang sangat indah. Memoriku menerawang pada ingatan masa SMA. Awal pertemuan kami di sebuah turnament. Kusadari bahwa dia adalah seorang atlit yang mungkin akan merasa tahan banting, merasa kuat untuk bepergian jarak jauh setiap hari atau bahkan untuk kerja lembur. Namun, keadaan dulu dengan sekarang sangatlah berbeda. Aku tak dapat melihat dia yang bertubuh kokoh dan kuat, serta jiwa atlet yang pernah merasuki dirinya kini sudah memudar. Tubuhnya nampak lebih kurus dari semenjak ia bekerja. Walau ia akan berkata tidak lelah, tapi kutahu bahwa tubuhnya sangat lelah. Jujur, aku ingin memintanya untuk berhenti bekerja, atau resign dari pekerjaannya, namun segera kutahan,Kucoba menerima setiap pilihan nya, kucoba mendukungnya. Kami berbincang seperti biasa ala kadarnya. Sebuah rindu yang baru kulepas padanya.
Malam tahun baru sekitar pukul 09.00 WITA aku jemput ia di terminal, yg baru saja pulang dari kota dimana ia bekerja, sepanjang perjalanan ke rumahku kita mencoba ngobrol ringan , dan pada sesampai di rumahku , ku coba memancing pembicaraan tentang pekerjaanya, dan mulai dari situ ekspresi wajah maupun bicaranya rada kurang bersemanagat, aku mungkin sudah sangat keterlaluan denganya, dia baru saja sampai di kotanya dan mungkin merasa lelah, namun aku mengajaknya berdebat dengan permasalahan karir nya.
Setelah beberapa menit kemudian ku antar dia pulang ke rumahnya, namun sebelum pulang aku ajak dulu ia mampir ke tempat acara teman , hanya sekedar mengantar titipan dan kami langsung melanjutkan perjalanan ke rumahnya, sepanjang perjalanan entah mengapa hati begitu kacau,Secara tak sadar kulampiaskan amarahku di depannya. Bisa dibilang inilah puncak dari amarah yang harus kukeluarkan. Bahkan tak kusadari airmataku berjatuhan menahan sesaknya tekanan di dalam dada, Kukerahkan semua ucapan kekhawatiranku, bahkan kupinta Dia untuk resign dari pekerjannya. Namun, dia hanya terdiam. Aku tak sadar, bahwa tanganku segera meraih helm dan membantingnya ke jalan. Seketika helm tersebut terlepas kacanya. Sepertinya, karakter asliku mulai keluar. Jujur, sifat pemarahku ini sudah kukubur dalam-dalam semenjak aku bertengkar denganya dan membuat komitmen untuk berubah. Namun, kekhawatiranku pada nya telah melahirkannya kembali.
Aku tak bisa mengatur diriku, bahkan aku benci melihat diriku yang seperti ini. Aku tak ingin dia menangis ataupun sedih melihatku seperti ini, namun, tetap gusarku kian membesar dan tak dapat kubendung.
Tak kusangka pula bahwa dia menunjukkan sikap kesalnya padaku. Kesal akan sikapku yang mengekangnya, kesal dan juga marah atas keegoisanku yang terlalu tinggi. Walau segera kuatur napas untuk menghentikan pertengkaran kami, tapi amarah nya pun kian memuncak. Ia mencurahkan rasa tertekannya padaku, rasa pengorbanannya dan kerendahan hatinya yang selalu mengalah padaku. Aku pun tak mau kalah, dan justru terus menantang ucapan nya.
Perdebatan kami masih berlanjut sesampai nya di rumah, dan ada yang membuat aku sontak seperti mimpi, saat aku mendengar kata-kata yang seharusnya tidak pernah keluar dari mulut nya. “Sebaiknya kita berpisah”, itulah kata-kata yang seharusnya tidak pernah ada di dunia ini. Tak kusangka bahwa rangkaian kata tersebut justru keluar dari mulut wanita yang kusayangi. Tak pernah kubayangkan bahwa aku sendiri yang akan mendengar kata-kata tersebut. Tapi ini nyata dan tidak palsu. Aku mendengarnya dalam keadaan sadar dan segera kupinta dia untuk meralat ucapannya. Tapi, dia tidak dapat menarik ulang kembali apa yang telah dikatakannya.
Diriku belum bisa pulang dari tempat tinggalnya. Aku belum percaya dengan hari ini, aku tidak ingin percaya dengan ucapan nya. Aku mencoba menolak pengakuan nya untuk putus denganku. Aku tak menyerah untuk mempertahankan hubungan kami. Aku tak ingin, hubungan yang telah terjalin selama 7 tahun harus berakhir tragis seperti ini.
Namun,dia justru semakin memperkuat keputusannya. Aku terdiam dan kupastikan kembali ucapannya. Kutanyakan dan kupinta pertanggungjawabannya atas komitmen yang telah kami bangun selama ini. Hubungan kami bukanlah hubungan ABG atau bahkan cinta monyet, tapi hubungan yang sudah terjalin selama 7 tahun yang bukanlah hubungan main-main. Apalagi orang tua kami yang sudah saling mengenal dan bahkan kami seakan telah menjadi sebuah keluarga.
Mendengar hal ini, kutatap dia yang berpikir ulang kembali. Kuyakin ia menyadari akan komitmen yang pernah ia bangun dulu bersamaku. Diriku cukup tenang, hatiku berdengus halus, seolah dunia sedang memberikan secercah harapan baru. Dia meminta waktu untuk memikirkannya kembali, berpikir akan hubungan yang telah lama kami jalani. Aku memang tidak bisa berharap lebih. Kuharap dia tidak sungguh-sungguh memutuskan hubungan kami. Aku pun segera meminta maafnya. Dia memang memberiku maaf namun dengan desus yang terlontar lirih. Kucoba memaklumi hatinya yang memang sedang terusik kelabu, dan itu disebabkan olehku, diriku yang terlalu kuat mempertahankan ego.
Hari pun berjalan terus sesuai berputarnya bumi pada porosnya. Namun, hubungan kami tetap renggang. Aku terus menghubunginya, mengajaknya berbicara dan mencoba meminta canda padanya. Namun, Ia kembali pada sikap awalnya, ia yang pendiam dan enggan berbicara pada orang yang belum dikenalnya, seolah ia hendak melupakanku. Aku hanya bisa berharap agar retaknya hubungan kami tidak sampai pecah.
Tak lama kemudian, empat hari sebelumnya merupakan waktu yang selalu kami tunggu di setiap tahun. Di tahun-tahun sebelumnya, anniversary selalu terasa indah dan menyenangkan, seolah dunia selalu berpihak pada kami.. Segera kuberikan karya tangan yang kubuat sepenuh hati, sepenuh jiwa raga dengan kesulitan bertubi-tubi. Kubuat sebuah karikatur yang menggambarkan diriku bersamanya. Aku memang tidak pandai menggambar, bahkan bisa dibilang tidak bisa menggambar, namun kucoba membuatnya bersama dengan bantuan teman  demi membuat ia terkesan.
Tatapan nya dan goresan senyum yang terlukis di ujung bibirnya menunjukkan bahwa dirinya terkesan pada karikatur yang kubuat. Hari ini aku bisa melihat kebahagiaan dari sisi nya. Kuharap kebahagiaan ini bisa terus abadi. Kami memang tidak mengobrol banyak, bahkan aku tak bisa asyik berbincang seperti dulu kala. Aku hanya bisa menatapnya. Hanya sebatas melempar senyum, itulah yang terjadi di Anniversary tahun ini.
Hari berlalu, dan aku masih terus menghubunginya. Ia selalu menjawab teleponku, membalas sms-ku. Namun, ia tak pernah menghubungiku lebih dulu. Aku semakin takut dan cemas. Kucoba menata hatiku kembali, mencoba menerima keadaan yang sedang menimpa kami. Aku terus berharap hubunganku bersamanya  bisa kembali seperti dulu, saat kami jarang bertengkar atau bahkan hampir tak pernah bertengkar.
Tapi, nyatanya harapan tidak sesuai dengan kenyataan.
Kenyataan ini begitu pahit kurasakan, walau akhirnya tetap aku harus menelannya. Tetap aku tak bisa menolak kenyataan yang benar-benar ada di depan mata kehidupanku. Aku hanya bisa mendengus sedih walau lirihan hati ini benar-benar kesal penuh pilu. Dia memang menerima karikatur berbingkai sederhana yang menghimpit nyaseminggu lalu.
Ucapan terima kasihnya justru membuatku sedih. Kata terima kasih itu telah memecahkan harapan dan serpihan kebahagiaan yang hampir bisa kukumpulkan. Ucapan terima kasihnya disusul dengan permintaam maaf dan kalimat perpisahan, seolah ia mengakhiri hubungan kami, tapi ini memang nyata. Artinya,Dia benar-benar mengakhiri hubungan kami. Selanjutnya, Dia terdiam. Aku hanya bisa menunggu kata-kata selanjutnya dari balik handphone-ku. Kuharap ia merasa menyesal telah mengeluarkan ucapan paling pilu yang tidak pernah ingin kudengar. Tapi, kenyataan selalu berpaling dari harapan yang kubuat. Ia putuskan untuk mengakhir hubungan kami.
Hatiku hampir gusar dan marah, namun mataku justru meneteskan air mata. Aku segera menyusulnya ke kota tepian. Kususul ia ke kontrakannya, meminta penjelasan dan memintanya untuk meralat kembali ucapannya, sepanjang malam di kota tepian kita habiskan dengan makan malam bersama di sebuah warung nasi goreng pilihanya, dan setelahnya kita lanjutkan perjalanan di depan sebuah masjid di kota tepian, perbincangan serius terjadi di waktu itu , tak hentinya ia meneteskan air mata.dan aku berusaha untuk tetap tegar, walau dalam hati hancur tak terkira.
tiba di kontrakannya, Dia tetap teguh pendirian. Kutatap matanya yang berbinar terang. Kupikir terdapat penyesalan yang terlukis dari tatapan matanya, tapi ia menegaskan kembali ucapannya hingga membuatku tak bisa berkutik, tak berani mengeluarkan ucapan pembelaan atau ucapan memelas, hatiku bahkan tak berani meminta maaf kembali padanya.
Duniaku terasa runtuh, aku merasa telah gagal menjadi seorang pria. Aku gagal mempertahankan hubunganku sendiri. Aku gagal mempertahankan komitmen yang telah kami bangun bersama dulu. Walau telah kujelaskan berkali-kali padanya, akan komitmen cinta kami, akan hubungan keluarga kami, akan masa lalu kami, Hera tetap meminta hubungan kami berakhir. Dengan kukuh dan pendirian kuat, Dia mempertahankan ucapannya tadi. Begitupun aku terus mencoba agar ia mencabut kembali keputusannya, namun...... segera tercatat secara tidak langsung dalam memoriku bahwa tanggal 1 Januari 2016 menjadi akhir dari hubungan kami.
Kalimat terakhir yang diucapkannya padaku; “Kita jalani masing-masing dulu Mas, aku kepengin sendiri.... Bila Tuhan menjodohkan kita, kita akan bertemu kembali.”
Kata-kata terakhirnya ini hampir membuatku gila. Aku merasa menyesal akan sikap kasarku, tapi masa lalu itu tak dapat kuperbaiki. Jika memang takdir menjodohkan kami, seharusnya ia bisa memberiku kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Namun, ucapannya tadi seolah menyatakan bahwa diriku telah bersalah dan tidak membiarkanku untuk memperbaiki kesalahan tersebut. Ia hanya menyerahkan semuanya pada takdir, mencoba menjalani hidup dengan tidak bersamaku. Entah ia berharap jauh dariku, entah ia benar-benar tidak mencintaiku lagi, entah ia hanya ingin berjalan di jalan Tuhan tanpa memiliki keteguhan hati. Aku tak bisa menerka pemikirannya saat ini.
Akhir dari hubungan kami membuat hidupku cukup kacau. Kegalauanku mulai menjadi-jadi. Hatiku kacau, pecah berantakan, cukup sulit bagiku mengumpulkan kembali serpihan hati yang telah pecah berantakan. Selama berhari-hari hidupku tak terkontrol. Porsi makanku pun berkurang dan bahkan tidak nafsu makan. Jadwal tidurku menjadi berantakan tak terkontrol, bahkan aku jarang tidur dan lebih memilih menghabiskan malam dengan merenungi hidupku.
Hingga akhirnya, aku berpikir bahwa aku harus bisa menerima takdir ini dengan lapang. Kusadari, bahwa kesalahan berawal dari egoku. Karena itu aku menyesalinya. Tanpa perlu diumumkan, orang tua kami telah mengetahui akhir dari hubungan kami. Bahkan, sebagai orang tua mereka hanya bisa menyerahkan masa depan kami pada Yang Maha Kuasa, berharap baik pada takdir kami. Aku bangga pada orang tua kami yang tidak memaksakan kehendak mereka pada kami. Bahkan, sejak awal hubungan kami diterima dengan lapang oleh mereka, namun karena kesalahanku hubungan kami tak dapat dipertahankan kembali. Aku telah mengecewakan banyak pihak. Tidak hanya diriku, tapi orang tuaku  dan orang tua nya. Aku telah menyakiti hati mereka, tapi mereka malah bisa memaafkanku.
Aku belajar dari hubungan kami ini. Tidak seharusnya diriku mempertahankan ego tanpa mempedulikan perasaan orang lain. Tidak seharusnya pula diriku mengekang impian dan membatasi kehendak orang lain. Arghh...... aku patut mendapat pelajaran ini.
Sejak berakhirnya hubungan kami. Aku hanya bisa menanyakan kabarnya melalui sms atau melalui orang tuanya. Aku tak bisa bertanya banyak akan hal dirinya. Cukup kutahu bahwa ia sehat dan tidak sedang menangis atau berada dalam kesulitan.
Kenanganku bersamanya masih tersimpan rapat di dalam memoriku. Kenangan indah selama 7 tahun disertai liku-liku perjalanan kami masih tertampung lengkap dalam memori ingatanku. Amat sulit bagiku menghilangkan kenangan itu dari memoriku. Kemanapun aku pergi, apapun yang kulihat, tetap ada bayangan tentang nya yang melintas di benakku. Di setiap sudut kota yang kusinggahi, selalu tersimpan cerita yang mengingatkanku pada nya.
Kuisi keseharianku dengan bekerja di perusahaan temanku. Aku pun mencoba melamar kerja ke berbagai instansi, kutemui pula teman-temanku untuk mengisi kekosonganku. Kujalani hari-hariku dengan sabar, mencoba hidup dalam ketenangan. Namun, tetap harap dan hatiku berkata ingin bertemu kembali dengannya. Aku berharap takdir bisa mempertemukan kami dan takdir bisa menjodohkan kami. Walau kesibukan yang kulakukan bertujuan mengalihkan ingatanku tentang nya, tetap bayang-bayang nya selalu mengusik hatiku.
Kubiarkan bayangan nya menggerayangi benakku. Kupertebal imanku, kutingkatkan ibadahku dan kupanjatkan doaku lebih banyak. Dalam shalatku, selalu kusisipkan namanya, Yuni, seorang yang masih kuharapkan hingga saat ini. Aku terus memanjatkan doa keselamatan untuknya. Dimanapun ia berada, kuharap kesehatan selalu menyertainya, dan kelancaran hidup selalu ada padanya. Aku terus berdoa agar dirinya tetap sehat dengan karir yang memuaskan.
Dalam sanubari, terus kupinta maaf darinya. Maafkan aku...... maaf.... karena aku sudah menyakitimu, maaf.... karena aku sudah mengecewakanmu, maaf.... karena aku mengekangmu. Tapi, jujur..... aku hanya ingin yang terbaik untukmu.
Maaf.... jika kamu tertekan olehku. Maaf.... bila caraku selama ini sudah salah. Maaf, karena komitmen yang kita bangun dulu justru menjadi hancur berantakan oleh sebabku.
Tapi, satu hal yang perlu dan harus kamu tahu.......... kini..... aku berkomitmen akan selalu sayang dan cinta padamu.
Aku menunggu waktu itu.